Friday, January 31, 2014

Konsep Pendidikan sang Pendiri Taman Siswa

Koran Sindo, 19 Januari 2014

Judul Buku: Emong, Among, Pamong: Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Penulis: Bartolomeus Samho
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I, 2013
Tebal: 115 Halaman

Nama aslinya adalah Soewardi Surjaningrat yang lahir pada hari Kamis Legi tanggal 2 Puasa 1818 atau tanggal 2 Mei 1889. Ayahnya adalah Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat, putra dari Sri Paku Alam III dengan permaisuri kerabat keraton Yogyakarta. Dengan demikian, secara genealogis ia adalah seorang ningrat.

Akan tetapi, sosoknya dihormati oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia sehingga tercatat dalam tinta emas sejarah bangsa bukan karena gelar akademis maupun alasan genealogis tersebut, melainkan karena integritas, totalitas, loyalitas dan komitmennya untuk memerdekakan bangsa dari berbagai situasi tiranik.

Buku berjudul lengkap Emong, Among, Pamong: Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara ini, berusaha menghadirkan gagasan dan pemikiran dari sosok pemimpin, pejuang dan pendidik sejati bangsa Indonesia yang dikenal dengan semboyan ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani tersebut dengan interpretasi penulisnya.

Kepribadiannya yang rendah hati dan merakyat, membuat ia mengambil keputusan pada tanggal 23 Februari 1928 atau tepat berusia 40 tahun untuk mengganti nama dengan yang lebih “merakyat”, yakni Ki Hadjar Dewantara. Sejak itu pula ia tidak menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Tujuannya agar ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Karena pemikiran kritisnya yang tertuang dalam surat kabar de Express Ki Hadjar harus rela menjalani hokum buang (internering) ke Pulau Bangka. Hukuman tersebut kemudian dialihkan ke negeri Belanda setelah Ki Hadjar bersama dua sahabat dekatnya dalam Tiga Serangkai; E.F.E Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo mengajukan permohonan pemindahan. (Halaman 42)

Kiprah dan pengabdiannya tercatat dalam ranah politik, jurnalistik dan pendidikan. Pengalamannya yang terasah dalam ketiga ranah tersebut membuatnya semakin yakin bahwa kesadaran generasi muda Indonesia akan hak-haknya merupakan aspek yang signifikan dan mendasar bagi upaya memperjuangkan kemerdekaan.

Berbekal pengalamannya yang luas tentang pendidikan, mantan anggota radikal Indische Partij itu berani mengkritisi sistem pendidikan yang dikembangkan dan dilaksanakan penjajah sebagai sistem yang tidak tepat untuk orang-orang Indonesia. Menurutnya, sistem pendidikan Belanda cenderung merugikan mentalitas, prinsip, dan identitas rakyat jajahan.

Karena titik sentuh sistem pendidikan penjajah Belanda bukan demi membangun mentalitas generasi muda Indonesia untuk menyadari kodrat kemanusiaannya, tetapi demi membentuk mereka menjadi kaum elit pribumi yang menguntungkan bagi pihak penjajah sendiri.

Bagi Ki Hadjar, sekolah-sekolah bentukan pemerintah kolonial semisal HIS (Hollandsch-Inlandesch School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), OSVIA (Opleidingscholen voor Inlansche) dan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) tidak lebih sekedar sarana penjajah untuk mencitrakan diri sebagai pemerintah yang penuh perhatian dan peduli kepada rakyat jajahannya. (Halaman 68)

Selain itu, sistem dan model pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan di sekolah-sekolah penjajah Belanda tidaklah cocok untuk golongan elit bumiputera karena praksisnya mengabaikan secara sengaja apa yang menjadi ciri khas budaya Timur.

Konten pelajaran-pelajaran (bacaan) yang diberikan, misalnya, baik secara implisit maupun eksplisit merupakan upaya Pemerintah Kolonial mengindoktrinasi generasi muda bumiputera secara sistematis agar mereka melupakan dan merendahkan diri dan martabat kemanusiaan dan bangsanya sendiri.

Melalui program-program dan pelajaran di sekolah, Belanda berupaya mengalihkan perhatian golongan bumiputera agar tidak melakukan pemberontakan dan tidak mendirikan organisasi atau partai politik yang menentang pemerintahan penjajah. Semua anak muda yang bersekolah dibentuk sedemikian rupa mentalitasnya agar mereka sedapat mungkin tidak menjadi pemimpin pergerakan bagi kemerdekaan bangsanya, tetapi menjadi pegawai bagi kepentingan Pemerintah Kolonial.

Dengan kesadaran tersebut, Ki Hadjar akhirnya berinisiatif mendirikan sekolah tandingan dengan nama Perguruan Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Sebuah sekolah yang berusaha memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern dengan seni-seni Jawa Jawa tradisional serta mengajarkan rasa kebangsaan kepada peserta didik.

Salah satu prinsip dasar yang dianut Taman Siswa dan Ki hadjar adalah bahwa tak satu golongan atau ras manusia pun di planet bumi ini yang pantas dihina, direndahkan dan dijajah oleh golongan atau ras lainnya. Prinsip tersebut termanifestasikan melaui pendidikan dan pengajaran yang humanis-nasionalis dan merangkul semua golongan. (Halaman 74)

Sedangkan metode yang cocok untuk membentuk kepribadian generasi muda di Indonesia menurutnya adalah yang sepadan dengan makna paedagogik, yakni Momong, Among dan Ngemong yang berarti pendidikan itu bersifat mengasuh.

Ki Hadjar begitu yakin bahwa bila kemerdekaan adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia maka pendidikan adalah cara yang tepat dan manusiawi untuk mencapai atau memilikinya. Dalam pengertian itu pula, pendidikan dapat dimengerti sebagai wahana menuju kemerdekaan kemanusiaan dalam pengertian yang luas.

No comments:

Post a Comment